Senin, 19 Mei 2014

POLITIK UANG

Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye[1]. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Politik uang sebenarnya akan menyebabkan nilai-nilai demokrasi luntur. Oleh karenanya, jangan sampai ada pihak yang seolah-olah mendukung politik uang ini. Politik uang harus tidak ada. Kalau masih terjadi dan sulit dibendung, maka perlu adanya pengaturan secara rinci melalui undang-undang. Seperti isu yang terjadi baru-baru ini, pada acara kampanye Hanura beberapa waktu yang lalu (walau belum tentu dilakukan oleh pihak Hanura atau tanpa sepengetahuan pimpinan Hanura) berupa pemberian uang bensin atau sebagai ganti uang transport simpatisan yang hadir pada acara kampanye tersebut. Kejadian seperti ini dapat memancing pihak lain untuk melakukan hal serupa. Apabila tidak dibendung dengan sebuah kesepakatan bersama atau dengan perincian undang-undang, maka akan "bergerak" menjadi "liar". Ini berbahaya. Maka pihak yang berwenang perlu mencari inisiatif untuk menangani masalah ini. Misalnya dengan suatu pengaturan tertentu. Hingga pemilu saat ini, pihak yang kontra terhadap politik uang masih kesulitan untuk "menghalaunya".
Pengaturan terkait pemberian ini bisa dilakukan dengan cara:
1. Pembatasan nominal uang atau nilai nominal barang jika diuangkan. Misalnya, maksimal Rp.20.000,- dan sekali.
2. Waktu pemberian. Kapan waktu yang boleh untuk memberi dan kapan tidak lagi boleh memberi. Misalnya, pada masa tenang sudah tidak ada toleransi jika masih ada yang melakukan pemberian.
3. Momen pemberian. Misalnya: Pemberian hanya bisa dilakukan pada acara-acara tertentu dari partai, seperti acara kampanye atau rapat terbuka partai. Sehingga, pemberian yang dilakukan di luar acara partai yang dilakukan oleh orang-orang partai atau orang-orang suruhannya termasuk kategori yang tidak bisa dikecualikan.
Secara umum, masalah beri memberi tidak akan pernah "musnah" atau tidak akan pernah ada henti-hentinya. Masalahnya, apakah pemberian itu bisa dikategorikan politik uang atau tidak!. Setelah membaca hal-hal di atas, perlu kiranya saya sampaikan beberapa contoh. Misalnya, sudah memasuki masa tenang, ada seorang simpatisan bertamu kepada salah seorang pengurus partai "A" kemudian sang tuan rumah menyuguhi segelas minuman, sepotong kue atau semangkok kolak atau sepiring nasi. Apakah pemberian tersebut bisa dikategorikan politik uang?. Contoh lainnya. Pada sekitar setahun yang lalu, partai "B" melakukan aksi sosial pengobatan gratis, atau membagi-bagikan sembako. Apakah aksi sosial tersebut bisa dikategorikan politik uang atau apakah aksi sosial tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai politik uang?. Contoh lainnya, pada saat kampanye partai "C" seorang jurkam berjanji akan menaikkan gaji PNS atau berjanji akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apakah ini tidak termasuk politik uang? Untuk memahami persoalan di atas, perlu kiranya kita mempelajari perihal Penyelenggaan Pemilu. Bagaimana undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemilu. Oleh karenanya, setiap pemberian atau janji-janji tidak mesti tergolong sebagai politik uang sebelum merujuk kepada Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu.
Hingga pemilu saat ini, pihak yang kontra terhadap politik uang masih kesulitan untuk "menghalaunya". Bagi kita yang anti terhadap politik uang, ada baiknya apabila memperhatikan pernyataan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, diantaranya, "Pemilih lebih baik memilih caleg yang sudah dikenal rekam jejak perilakunya daripada yang tidak jelas asal-usulnya."[2] Rekam jejak ada dua macam, yakni antara kebaikan dan keburukan atau kebenaran dan kesalahan. Keduanya juga ada pembagiannya, tingkat kebaikan dan keburukan atau tingkat kebenaran dan kesalahan. Tingkat keburukan atau kesalahan dapat dibagi menjadi tiga; yaitu: 1. Kelas berat 2. Kelas sedang 3. Kelas ringan. Contoh dari kelas ringan ini, misalnya pernah membawa anak-anak saat kampanye.Berita Kampanye[3] Untuk ketiga tingkatan tersebut, mungkin untuk tingkat kelas ringan masih bisa ditoleransi.
---Penyebab Politik Uang---
Penyebab dari politik uang ini, berdasarkan arah terjadinya dapat dibagi menjadi dua: Pertama, karena keinginan caleg untuk menang. Kedua, karena keinginan pemilih untuk menerima.
Sedangkan berdasarkan maraknya terjadinya dapat dibagi menjadi lima: Pertama, tingkat kemakmuran rakyat masih rendah. Kedua, pengaruh ajaran kapitalis. Ketiga, gagalnya ajaran kebahagiaan. Keempat, kekayaan yang diperoleh anggota legislatif. Kelima, ketidaksukaan pemilih terhadap caleg atau partai tertentu. Misalnya, karena janji-janjinya tidak terlaksana sama sekali sehingga mereka "mencoba" untuk memilih caleg baru. Bukti pendukung dari faktor pertama adalah: Jumlah penduduk miskin di Jakarta naik, per September 2013 tercatat 375.700 jiwa atau meningkat 0,02%, dibandingkan pada periode sama tahun sebelumnya, yakni 366.770 jiwa (3,70%)[4]. Sumber lain, Bank Dunia menyampaikan catatannya bahwa 40% orang Indonesia masih miskin.[5]
Politik uang ini sangat berpengaruh bagi perolehan suara partai atau caleg tertentu. Namun demikian, penyebab kemenangan atau kekalahan dari caleg atau partai tertentu, tidak semata-mata disebabkan oleh politik uang. Ada beberapa sebab lain yang menyebabkan kemenangan atau kekalahan dari caleg atau partai tertentu, diantaranya: Pertama; Kekecewaan pemilih terhadap anggota legislatif pada periode sebelumnya. Kedua; Kesalahan pemilih dalam mencoblos karena keawaman. Ketiga; Kebingungan pemilih karena design kartu suara. Keempat; Tidak dikenalnya caleg. Kelima; rekam jejak caleg.[6] Faktor kelima tidak terlalu berpengaruh apabila pemilih pada kawasan tertentu lebih mengutamakan politik uang. Seorang pengamat menyebut bahwa politik uang ini sebagai tanda kegagalan parlemen lima tahun mendatang.[7] Tetapi dari satu sisi yang lain kita bisa memberikan penilaian yang berbeda karena anggota legislatif dalam gedung tidak sendirian.
Dari terjadinya politik uang di kawasan masyarakat tertentu dalam hal keterlaksanaannya dapat dibagi menjadi tiga: Pertama; penerima bersedia menerima pemberian sekaligus bersedia memilih caleg pemberi. Kedua; penerima bersedia menerima pemberian tetapi tidak bersedia memilih caleg pemberi. Ketiga; penerima tidak bersedia menerima pemberian dari caleg. Sebuah acara interaktif dari RUAI TV, 22 April 2014, pukul 20.35 WIB mendapat telepon dari pemirsa dengan penyampaian informasi mengenai pendapat seorang warga di daerahnya sebagai berikut; "Kita terima saja uangnya daripada nanti kalau caleg tersebut jadi kita tidak mendapat bagian". Terkait dengan pelaksanaan pemilu, penelpon yang lain menyampaikan aspirasinya agar kepanitiaan pemilu ditangani oleh para sarjana.[8] Yang dimaksud oleh penelpon kedua tersebut, secara khusus adalah panitia yang bertugas mengisi data. Harapan penelpon kedua ini tidaklah terlalu berlebihan mengingat temuan yang ia alami di daerahnya. Tetapi jika yang dimaksud semata-mata bisa tidaknya mengisi data, sebenarnya walaupun tidak pernah sekolah sekalipun tetapi sudah terlatih secara khusus untuk mengisi data perolehan suara, maka tetap bisa dijadikan panitia dibagian pengisi data. Jadi sebenarnya, dalam persoalan ini, apakah yang bertugas bisa ataukah tidak dalam menjalankan tugas. Terpenting adalah, petugas pengisi data tidak melakukan kecurangan yang sifatnya merugikan caleg yang dicurangi.